Category Archives: Muhammadiyah

Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan: Dari Spiritualisme Al-Ghazali hingga Reformisme Abduh

Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Muhammad Darwisy, nama kecil Ahmad Dahlan, lahir dari pasangan Abu Bakar bin Sulaiman dan Siti Aminah binti Ibrahim. Ia merupakan keturunan ke-11 Maulana Malik Ibrahim.

Ahmad Dahlan dididik dengan pendidikan agama yang kuat. Mulanya ia didik oleh ayahnya, kemudian secara bertahap ia berguru ke berbagai ulama. Di antara gurunya adalah Kiai Saleh Darat, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Al-Minangkabawi, dan lain-lain.

Ahmad Dahlan berkawan baik dengan ulama asal Jawa Timur, Kiai Hasyim Asyari. Dua ulama ini nantinya mendirikan dua organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah menggunakan simbol matahari, sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan simbol bumi.

Perjalanan intelektual Ahmad Dahlan tidak berhenti dengan berguru ke ulama Nusantara. Beliau juga beririsan dengan pemikiran ulama Timur Tengah, misalnya Muhammad Abduh (w. 1905), ibn Taimiyah (w. 1328), hingga al-Ghazali (w. 1111). Melalui pergumulan intelektual itu, meminjam bahasa Munir Mulkhan, Ahmad Dahlan berhasil melakukan rasionalisasi fungsional ajaran Islam.

Selain itu, meski kurang populer, Ahmad Dahlan juga melakukan praktik penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran. Beliau memang tidak menulis sebuah kitab tafsir, tetapi penafsirannya terhimpun di dalam tujuh belas kelompok ayat yang dicatat KRH Hadjid. Kelompok ayat itulah yang mendapat perhatian lebih Ahmad Dahlan dan sering diajarkan kepada murid-muridnya.

Epistemologi Penafsiran

Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti di makna tekstual al-Quran. Lebih dari itu, beliau menghubungkan ayat al-Quran dengan kondisi atau permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitarnya, lalu mencari solusi atas permasalahan tersebut. Menurut Hadjid, penafsiran gurunya itu berada di bawah tema besar sosialisme Islam (isytirakiyyah Islamiyah) dan menitikberatkan pada etos amali.

Penelitian tentang penafsiran Kiai Ahmad Dahlan dilakukan oleh Alfandi Ilham Safarsyah dengan judul “Epistemologi Penafsiran KH Ahmad Dahlan (Telaah 17 Kelompok Ayat Al-Quran dalam Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan)”. Menggunakan sumber primer catatan KRH Hadjid, ia lantas menggali epistemologi penafsiran Kiai Dahlan. Penelitiannya menghasilkan tiga kesimpulan, yakni sumber, metode, dan relevansi penafsiran yang dilakukan Kiai Dahlan.

Pertama, ditinjau dari sumbernya, Kiai Dahlan menafsirkan ayat al-Quran dengan al-Quran, dengan hadits, lalu dengan pendapat para mufasir/ulama. Menariknya, penafsiran Kiai Dahlan tidak hanya bersinggungan dengan reformisme Muhammad Abduh, tetapi juga dengan spiritualisme al-Ghazali.

Kedua, ditinjau dari metode, Kiai Dahlan menggunakan metode maudhu’i (tematik). Sementara ditinjau dari corak, penafsiran Kiai Dahlan bercorak ‘adaby wa ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Dalam tujuh belas kelompok ayat itu dapat diamati bahwa tema-tema yang dibahas Kiai Dahlan berpusat pada pembersihan diri (tazkiyatun nafs), iman/kepercayaan, amal saleh, saling menasihati, dan sosialisme Islam.

Ketiga, ditinjau dari relevansi, selain konsisten dalam berpikir dan bersikap, penafsiran Kiai Dahlan juga sejalan dengan pandangan mufasir sebelumnya. Kelebihannya, penafsiran Kiai Dahlan punya nilai pragmatis yang besar. Nilai pragmatis itu terwujud dalam amal-amal sosial dan lahirnya persyarikatan Muhammadiyah.

Kiai Ahmad Dahlan, Al-Ghazali, dan Muhammad Abduh

Kaitannya dengan pembaruan Islam dan pergerakan, Kiai Dahlan memang terinspirasi dari Muhammad Abduh. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan perkara hati, Kiai Dahlan banyak sependapat dengan al-Ghazali. Selain membaca kitab Tafsir Al-Manar-nya Muhammad Abduh, Kiai Dahlan juga tercatat membaca kitab Ihya’ Ulumiddin-nya al-Ghazali.

Sebagai contoh, ketika menafsirkan Q.S. al-Jatsiyah: 23 tentang membersihkan diri, Kiai Dahlan menjelaskan tiga jalan yang dapat ditempuh agar seorang hamba terbebas dari hawa nafsu, yakni ingat kepada Allah, salat, dan memikirkan akhirat. Pandangan Kiai Dahlan itu sejalan dengan pendapat al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin dan Ihya’ Ulumiddin tentang banyaknya manusia yang akan terjebak ke dalam rayuan iblis.

Hadjid merekam dengan baik pelajaran Kiai Dahlan. Ia menjelaskan, “setelah beliau tafakkur (berpikir-pikir) seraya muhasabah (meneliti) amal-amal umat Islam dan muraqabah (mengawasi hawa nafsu sendiri), maka beliau berpendapat sebagaimana pendapat para ahli tasawuf seperti Imam Ghazali dan lain-lain” (Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan, hlm. 65).

Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali mengutip riwayat Muadz bin Jabal yang mengatakan, “tidaklah ahli surga meratapi sesuatu kecuali waktu yang dilewatinya tanpa mengingat Allah”. Keutamaan dan ajakan mengingat Allah inilah salah satu poin yang mempertemukan pandangan Kiai Dahlan dengan al-Ghazali.

Dalam catatan KRH Hadjid, Kiai Dahlan juga memberikan tuntunan doa kepada murid-muridnya. Kiai Dahlan mengatakan, “tuntunan ulama sufiyah yang menganjurkan untuk mementingkan mengajak ingat kepada Allah, memperbanyak ingat kepada Allah, supaya hati manusia tawajjud atau menghadap kepada Allah (suatu perantara yang baik)” (Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan, hlm. 77-78).

Alfandi menjelaskan, ada benang merah antara penyucian diri dengan langkah praksis amal saleh yang dilakukan dan diajarkan Kiai Dahlan. Tujuan penyucian diri adalah untuk memperkokoh dan meningkatkan iman seseorang. Setelah iman kuat, ia mesti dimanifestasikan dalam bentuk amal saleh.

Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma ketika menjelaskan Q.S. al-Ashr. Keimanan yang kuat akan berbuah kehendak untuk beramal saleh. Setelah amal saleh termanifestasikan dan menghasilkan buah kemanfaatan bagi banyak orang, barulah sosialisme Islam terwujud.

Hadjid pun mengakui bahwa Abduh punya pengaruh besar terhadap langkah Kiai Dahlan untuk membangun peradaban Islam dengan kembali kepada al-Quran dan sunnah. Jika merujuk pada pandangan keagamaan Kiai Dahlan, langkah itu harus dimulai dari diri sendiri: membersihkan diri, menguatkan iman, lalu melakukan amal saleh.

Dalam menggali ilmu pengetahuan, Kiai Dahlan berpijak pada aliran ilmu. Artinya, beliau tidak membatasi pencari ilmu untuk berguru kepada siapapun. Selanjutnya, Kiai Dahlan juga dapat mempertautkan pemikiran tasawuf dengan gerakan sosial. “Kiai Dahlan mampu mengkombinasikan pemikiran tasawuf dan gerakan sosial tanpa mempertentangkan keduanya,” tulis Alfandi dalam kesimpulannya. (bariqi)

Sumber : Suara Aisyiyah