Mu’tazilah

Secara harfiah berarti “yang memisahkan diri”. Pelopor aliran ini adalah Wasil bin Atha’ yang memproklamirkan pemisahan dirinya (i’tizal) dari gurunya (Hasan al-Basri) karena tidak sependapat dalam persoalan pelaku dosa besar. Wasil berpandangan bahwa pelaku dosa besar adalah fasik yang kelak di akhirat akan diletakkan oleh Allah di suatu posisi antara surga dan neraka (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Faham ini lantas menjadi salah satu dari lima doktrin sentral Mu’tazilah yang dikenal dengan istilah al-mabadi’ al-khamsah (asas lima), yaitu meliputi: al-tauhid (keesaan Tuhan), al-’adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bayn al-manzilatayn, dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (menyeru pada kebajikan dan mencegah kemunkaran). Kelima asas ini sebenarnya adalah hasil dari serangkaian perdebatan sengit mereka dengan lawan-lawan pemikirannya. Prinsip tauhid misalnya adalah bentuk penolakan mereka terhadap faham mujassimah dan musyabbihah. Sementara prinsip keadilan untuk menolak faham Jahmiyah, prinsip janji dan ancaman untuk membantah faham Murji’ah, serta prinsip manzilah untuk menolak faham Murji’ah dan Khawarij sekaligus. Aliran ini dalam banyak pemikirannya menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan utama tentang kewajiban serta kebaikan dan keburukan, sedangkan wahyu sebagai pendukung kebenaran akal. Apabila terdapat pertentangan antara keduanya, maka wahyu perlu ditakwilkan (dengan penalaran rasional) sehingga sesuai dengan ketetapan akal. Beberapa produk pemikiran yang akrab diterima di kalangan Mu’tazilah antara lain menyebutkan bahwa Allah mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, tidak ada siksa kubur, al-Qur’an adalah makhluk, keniscayaan atas Allah untuk berbuat baik dan yang terbaik (al-shalah wa al-aslah), dan manusia bersifat otonom dalam tindakannya dengan qudrah yang diberikan Allah kepadanya. Dalam perkembangannya, Mu’tazilah yang telah muncul sejak masa Umayyah ini pada mulanya bergerak di jalur kultural dengan fokus aktivitas berupa dialektika dan pengembangan pemikiran ilmiah. Karakter ini pula yang membantunya dapat bergerak leluasa karena bukan merupakan ancaman bagi penguasa secara politis. Bahkan dalam banyak hal, gerakannya cukup memberi kontribusi positif dalam menghadapi serangan pemikiran dari berbagai pihak yang mencoba meruntuhkan keagungan ajaran Islam melalui penalaran-penalaran filosofisnya. Tetapi pada masa kekhalifahan al-Ma’mun, pemikiran teologis Mu’tazilah ditarik ke wilayah politis sebagai suatu pandangan resmi negara yang harus diikuti oleh umat. Siapapun yang tidak menerima kebijakan ini akan berhadapan dengan ancaman hukuman dari pihak penguasa. Pemaksaan faham keagamaan yang dikenal sebagai peristiwa mihnah (inkuisisi) ini terus berlangsung pada masa al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Selama periode tersebut tidak sedikit ulama yang mengalami intimidasi dan hukuman penjara karena berani melawan. Situasi baru pulih kembali ketika al-Mutawakkil berkuasa dengan menghentikan kebijakan yang bersifat sangat represif tersebut. Sejarah politis yang sempat ditopang Mu’tazilah itulah yang menjadikannya sering dicibir dan dicurigai. Tetapi secara umum, perdebatan teologis yang dilancarkan Mu’tazilah tidaklah menyimpang dari apa yang diserukan Islam. Dalam banyak hal Mu’tazilah justru menunjukkan keistimewaannya tersendiri dalam sejarah pemikiran keagamaan di kalangan umat Islam. Mu’tazilah ini dikenal gigih menolak taqlid dan mencegah pengikutnya untuk menuruti pendapat orang lain tanpa lebih dahulu membahas, menguji dan menganalisis dalil-dalil yang digunakannya. Mereka sangat menghormati pendapat dan materi pendapat tanpa terpengaruh siapa yang mengemukakan pendapat tersebut. Prinsip mereka dalam mencari kebenaran agama adalah dengan memperkenankan semua orang yang beriman untuk berijtihad secara bertanggung jawab. Karakter ini pula yang menjadikan Mu’tazilah dengan pusat persebarannya di Basrah dan Baghdad mempunyai cukup banyak aliran yang berkembang dengan corak pemikirannya masing-masing.

Leave a comment