Murji’ah

Secara harfiah, istilah ini berarti “yang menangguhkan atau mengembalikan”. Pada mulanya, kemunculan aliran ini beranjak dari sikap pasif atau tidak memihak antara dua kelompok umat Islam yang tengah bertikai setelah pembunuhan Utsman. Mereka menahan diri untuk tidak memberi penilaian siapa yang benar dan salah di antara kedua belah pihak dan lebih memilih menangguhkan atau mengembalikan (irja’) penilaiannya kepada keputusan Allah kelak di akhirat.

Di antara mereka yang mengambil sikap ini adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Bakrah, Abdullah bin Umar, dan Imran bin Husain.
Pandangan ini sebenarnya juga menguat sebagai reaksi atas sikap ekstrim Khawarij yang begitu mudah melakukan pengkafiran dan menghalalkan darah sesama muslim. Pelaku dosa besar dalam pandangan Murjiah generasi awal ini tidaklah kekal di neraka, tetapi hanya akan dihukum untuk sementara setimpal dengan atau bahkan mungkin diampuni dari dosa-dosanya.

Adapun di wilayah politik, aliran ini menyatakan bahwa ketaatan terhadap imam yang diangkat secara sah adalah wajib ditaati sekalipun dalam beberapa hal ia menyimpang dari ajaran Islam. Sikap politik yang moderat tersebut memberi keuntungan tersendiri bagi eksistensi aliran ini yang tidak terusik di bawah naungan kekuasaan Umayyah.

Tetapi dalam perkembangan berikutnya, ternyata muncul penganut faham Murjiah yang tidak hanya bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat terdahulu, melainkan sudah melangkah lebih jauh dengan berkeyakinan bahwa dosa tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak juga memberi manfaat kepada orang kafir. Pada konteks ini, iman sudah mulai dipahami terlepas dari perbuatan. Pemikiran itu selanjutnya diketahui dijadikan sebagai dalih pembenaran oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperturutkan hawa nafsunya dengan perbuatan-perbuatan dosa dan kekejian.

Sumbernya dari sini

Leave a comment